Welcome To My Blog

Rabu, 07 Desember 2011

MAKALAH ANTROPOLOGI


PERKEMBANGAN ANTROPOLOGI HUKUM DI INDONESIA


1.      Antropologi di Indonesia
Dunia antropologi Indonesia tidak bisa dilepaskan dari nama mendiang Prof.Dr. Koentjaraningrat, M.A. Lelaki kelahiran Yogyakarta 15 Juni 1923 ini memang sudah sangat identik dengan dunia antropologi kita. Padahal kalau ditilik, awalnya almarhum lebih tertarik pada bidang sastra. Ia alumnus Sastra Indonesia dari Universitas Indonesia pada 1952. Tapi minatnya berbelok ke bidang budaya, sehingga sukses menyabet gelar MA pada Yale University, AS, dan pada 1958[5] dibawah bimbingan Prof. Dr. Elisabeth Allard. Anak Tunggal R.M. Emawan Brotokoesoemo ini menjadi doktor antropologi UI dengan judul disertasi ”Beberapa Methode Antropologi dalam Penyelidikan Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia”.Koen, demikian nama panggilannya, Putera pegawai pamong praja Pakualaman, Yogyakarta ini dikirim ke sekolah khusus yang hanya menerima anak-anak Belanda. Setelah itu ke MULO, lantas ke AMS. Tetapi, ketika ayahnya pindah ke Purwokerto, Koen tetap di Yogyakarta dan berkesempatan meneruskan mempelajari kebudayaan Jawa. Baru setahun Koen kuliah di Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada, terjadi Revolusi Kemerdekaan. Ia menggabungkan diri dalam Korps Mahasiswa Universitas Gajah Mada. Ia ditugaskan menjadi guru para prajurit yang sedang bertempur mengajar bahasa Inggris dan sejarah. Ia ditempatkan di Brigade 29, Kediri. Setelah perjanjian Renville, 1948, ia kembali kuliah di Universitas Gajah Mada. ''Untung, seandainya saya masih di Kediri, saya nggak hidup lagi'', katanya. Seperti diketahui, Brigade 29 memihak kaum komunis dalam Peristiwa Madiun (1948), yang kemudian dihancurkan oleh pasukan Siliwangi. Koen menikah dengan Kustiani yang dikenalnya sejak di UI, ayah tiga anak yang juga berjasa dalam mendirikan LP3ES.Koen tertarik pada antropologi sejak menjadi asisten Prof. G.J. Held, guru besar antropologi di Universitas Indonesia yang mengadakan penelitian lapangan di Sumbawa. Tak mau memendam ilmu yang diperolehnya, Koentjaraningrat terus memperkenalkan dan mengembangkan antropologi yang saat itu merupakan ilmu pengetahuan baru di Indonesia.
Ia mendirikan Jurusan Antropologi dan mengajar di sana. Ia juga mendirikan jurusan antropologi di berbagai universitas di berbagai daerah Indonesia.Sembilan tahun sudah doktor antropologi Indonesia pertama itu meninggal dunia. Ia mewariskan pemikirannya dalam berbagai buku dan tulisan yang tak kurang dari 200 judul yang diterbitkan dari majalah-majalah ilmiah di dalam maupun di luar negeri, 22 buah buku dan beberapa buah karangan ilmiah populer untuk surat kabar. Rata-rata buku tersebut menjadi buku pegangan mahasiswa antropologi selama bertahun-tahun, di antaranya Pengantar Antropologi, Keseragaman Aneka Warna Masyarakat Irian Barat (1970), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (1971), Petani Buah-buahan di Selatan Jakarta (1973), Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan (1974), Pengantar Ilmu Antropologi (1979), Masyarakat Desa di Indonesia (1984), Kebudayaan Jawa (1984), Irian Jaya, Membangun Masyarakat Majemuk (1992).
Kepiawaiannya di bidang antropologi seolah belum ada pesaing di eranya. Oleh karena itu, Koentjaraningrat “langganan” menjadi guru besar di banyak kampus, selain Deputi Ketua LIPI. Ia pernah menjadi Guru Besar Antropologi pada Universitas Indonesia, kemudian menjadi Guru Besar Luar Biasa pada Universitas Gadjah Mada, dan juga Guru Besar di Akademi Hukum Militer di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Ia juga pernah diundang sebagai guru besar tamu di Universitas Utrecht, Belanda, Universitas Columbia, Universitas Illinois, Universitas Ohio, Universitas Wisconsin, Universitas Malaya, Ecole des Hautes, Etudes en Sciences Sociales di Paris dan Center for South East dan Asian Studies di Kyoto. Ia juga meraih penghargaan ilmiah gelar doctor honoris causa dari Universitas Utrecht, 1976 dan Fukuoka Asian Cultural Price pada tahun 1995. Salah satu mahasiswa bimbingan Prof.Dr. Koentjaraningrat adalah Dr. Nico L. Kana (Alumni UKSW/Mantan Ketua GMKI Cabang Salatiga/Mantan Dosen UKSW,kiniKetuaYayasanPercik-Salatiga).



2.      Antropologi dan Pembangunan di Indonesia

           Salah satu diantara perhatian-perhatian khusus dalam antropologi adalah perubahan masyarakat dan kebudayaan dan salah satu diantara berbagai corak perubahan masyarakat dan kebudayaan yang menjadi perhatian antropologi adalah perubahan masyarakat dan kebudayaan yang direncakan melalui program pembangunan. Pembangunan dapat didefinisikan sebagai serangkaian upaya yang direncanakan dan dilaksanakan oleh pemerintah, badan-badan atau lembaga-lembaga internasional, nasional atau lokal, yang terwujud dalam bentuk-bentuk kebijaksanaan, program, atau proyek, yang secara terencana merubah cara-cara hidup atau kebudayaan dari sesuatu masyarakat sehingga warga masyarakat tersebut dapat hidup lebih baik atau lebih sejahtera daripada sebelum adanya pembangunan tersebut (Suparlan, 1995).Program-program tersebut biasanya terwujud sebagai program-program pembangunan ekonomi, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang mencakup program-program peningkatan kesejahteraan hidup atau mutu dalam bidang-bidang sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, kehidupan keluarga dan kependudukan, pertanian, industri, pasar dan kewiraswastaan, hukum dan hak-hak untuk memperoleh keadilan, keteraturan sosial dan politik, komunikasi dan transportasi, hiburan dan pariwisata, pandangan hidup dan keyakinan keagamaan (ideologi). Koentjaraningrat telah mengidentifikasi masalah-masalah yang tercakup dalam pembangunan di Indonesia, yang dinamakannya Antropologi Terapan, yaitu masalah-masalah
 (1) penduduk;
 (2) struktur masyarakat desa;
(3) migrasi, transmigrasi dan urbanisasi;
(4) integrasi nasional;
(5) pendidikan dan modernisasi.

           Mengapa harus melibatkan Antropolog atau menggunakan Ilmu Antropologi dalam pembangunan di Indonesia? Antropologi sebagai sebuah ilmu pengetahuan sosial, yang berbeda dari ilmu-ilmu humaniora (ilmu filsafat atau ilmu sejarah, misalnya) dan dari sains (fisika, kimia dan biologi misalnya), bercorak intelektual dan akademis serta berlandaskan pada metode ilmiah yang universal serta baku dan yang obyektif serta membumi (grounded) yang berpihak pada kemanusiaan. Keberpihakan pada kemanusiaan yang ada dalam antropologi tidak berarti bahwa antropologi tidak bebas nilai, sebagaimana yang ada dan menjadi ciri dari humaniora seperti yang dikemukakan oleh tokoh sejahrawan Indonesia, Profesor Taufik Abdullah yang berulang kali mengatakan bahwa ilmu pengetahuan tidak bebas nilai. Antropologi, sebagai ilmu pengetahuan, terbebas dari nilai-nilai budaya maupun nilai-nilai pribadi yang dipunyai oleh ahli antropologi yang bersangkutan. Antropologi, Sebagai ilmu pengetahuan ytang berisikan konsep-konsep dan teori-teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan makna dari gejala-gejala dan hakekat hubungan antara gejala-gejala yang ada dalam kehidupan masyarakat, secara sadar atau tidak sadar banyak ahli dari bidang-bidang ilmu pengetahuan lainnya telah menggunakan konsep-konsep dan teori-teori yang ada dalam antropologi untuk menjelaskan berbagai masalah sosial yang relevan, bahkan pejabat pemerintah dan orang awam juga menggunakannya (contoh: konsep rintangan-rintangan mental dan pembangunan dari Koentjaraningrat yang secara luas diacu dan digunakan dalam masyarakat Indonesia). Apapun jabatannya dan seperti apa pun peranannya, para ahli antropologi yang bekerja di pemerintahan atau lembaga-lembaga pembangunan internasional atau nasional, yang dapat dinamakan sebagai ahli antropologi pembangunan, melakukan kegiatan-kegiatan kajiannya dengan berprinsip pada metode pengamatan terlibat atau partisipatori yang melakukan kajiannya dari perspektif masyarakat yang dijadikan sasaran pembangunan (Green 1986:1-9; Rhoades 1986:36-66).
Walaupun demikian kajian-kajian antropologi pembangunan mempunyai corak yang berbeda dan kajian antropologi pada umumnya, karena etnografi yang dihasilkan oleh para ahli antropologi pembangunan menekankan pada tema-tema yang relevan dengan masalah utama dalam upaya penerapan teknologi modern (pertanian, kesehatan, pendidikan, politik dan administrasi pemerintahan atau bidang-bidang lainnya). Beberapa contoh diantaranya, keberhasilan pembangunan pariwisata Bali sampai dengan akhir 1980-an, keberhasilan pembangunan di Wamena dengan pusat kegiatannya adalah pertanian sawah, model transmigrasi dan pemugaran desa (Kampung Development) di Timika dan masih banyak contoh lainnya.

3.      Antropologi Pada Awal Dan Perkembangan Tema Kajian Dari Pandangan  Ilmu Hukum,
sejak warsa 1980-an dunia pendidikan ilmu hukum di Indonesia semakin diperkaya dengan pengenalan studi-studi hukum empiris dengan menggunakan pendekatan antropologis. Untuk ini, T.O. Ihromi dan Valerine J.L. Kriekhoff dari UI bekerjasama dengan F. von Benda - Beckmann dari Wageningen Agriculture University the Netherlands dapat dinobatkan sebagai peletak dasar studi-studi antropologis tentang hukum yang kemudian dikenal sebagai antropologi hukum (anthropology of law, legal anthropology, anthropological study of law). antropologi hukum sebagai bidang studi ilmu hukum empiris, dengan berfokus pada awal pemikiran studi-studi antropologis tentang hukum, pengembangan konsep hukum dalam studi antropologi hukum, perkembangan tema-tema kajian antropologi hukum, metodologi antropologi hukum, dan diskusi tema kemajemukan hukum dalam studi antropologi hukum.
antropologi hukum pada dasarnya adalah sub disiplin ilmu hukum empiris yang memusatkan perhatiannya pada studi-studi hukum dengan menggunakan pendekatan antropologis. Kendati demikian, dari sudut pandang antropologi, sub disiplin antropologi budaya yang memfokuskan kajiannya pada fenomena empiris kehidupan hukum dalam masyarakat secara luas dikenal sebagai antropologi hukum. Antropologi hukum pada dasarnya mempelajari hubungan timbal-balik antara hukum dengan fenomena-fenomena sosial secara empiris dalam kehidupan masyarakat ; bagaimana hukum berfungsi dalam kehidupan masyarakat, atau bagaimana hukum bekerja sebagai alat pengendalian sosial (social control) atau sarana untuk menjaga keteraturan sosial (social order) dalam masyarakat. Dengan kata lain, studi-studi antropologis mengenai hukum memberi perhatian pada segi-segi kebudayaan manusia yang berkaitan dengan fenomena hukum dalam fungsinya sebagai sarana menjaga keteraturan sosial atau alat pengendalian sosial (Pospisil, 1971:x, 1973:538; Ihromi, 1989:8). Karena itu, studi antropologis mengenai hukum secara khusus mempelajari proses-proses sosial di mana pengaturan mengenai hak dan kewajiban warga masyarakat diciptakan, dirobah, dimanipulasi, diinterpretasi, dan diimplementasikan oleh warga masyarakat (F. von Benda-Beckmann, 1979, 1986). Awal pemikiran antropologis tentang hukum dimulai dengan studi-studi yang dilakukan oleh kalangan ahli antropologi dan bukan dari kalangan sarjana hukum. Awal kelahiran antropologi hukum biasanya dikaitkan dengan karya klasik Sir Henry Maine yang bertajuk The Ancient Lawyang diterbitkan pertama kali pada tahun 1861. Ia dipandang sebagai peletak dasar studi antropologis tentang hukum melalui introduksi teori evolusionistik (the evolusionistic theory) mengenai masyarakat dan hukum, yang secara ringkas menyatakan : hukum berkembang seiring dan sejalan dengan perkembangan masyarakat, dari masyarakat yang sederhana (primitive), tradisional, dan kesukuan (tribal) ke masyarakat yang kompleks dan modern, dan hukum yang inherent dengan masyarakat semula menekankan pada status kemudian wujudnya berkembang ke bentuk kontrak (Nader, 1965; Roberts, 1979; Krygier, 1980; Snyder, 1981).
Tema kajian pada fase awal studi-studi teoritis mengenai hukum dengan pendekatan antropologis lebih difokuskan pada fenomena hukum dalam masyarakat bersahaja (primitive), tradisional (traditional), dan kesukuan (tribal) dalam skala evolusi bentuk-bentuk organisasi sosial dan hukum yang mengiringi perkembangan masyarakat manusia. Sedangkan, metode kajian yang digunakan untuk memahami fenomena hukum dalam masyarakat adalah apa yang dikenal sebagai armchair methodology, yaitu metodologi untuk memahami hukum dalam perkembangan masyarakat melalui kajian-kajian yang dilakukan di belakang meja, sambil duduk di kursi empuk, dalam ruangan yang nyaman, dengan membaca dan menganalisis sebanyak mungkin documentary datayang bersumber dari catatan-catatan perjalanan para petualang atau pelancong, dari laporan-laporan berkala dan dokumen resmi para missionaris, pegawai sipil maupun para serdadu pemerintah kolonial dari daerah-daerah jajahannya (F. von Benda-Beckmann, 1989). Pada awal abad ke-20 metode kajian hukum dari belakang meja mulai ditinggalkan, dan mulai memasuki perkembangan metode studi lapangan (fieldwork methodology) dalam studi-studi antropologis tentang hukum. Karya Barton, misalnya, yang berjudul Ifugao Law yang dipublikasikan pertama kali pada tahun 1919 merupakan hasil dari fieldwork yang intensif dalam masyarakat suku Ifugao di Pulau Luzon Philipina. Kemudian, muncul karya Malinowski berjudul Crime and Custom in Savage Society yang pertama kali dipublikasikan pada tahun 1926 adalah hasil studi lapangan yang komprehensif dalam masyarakat suku Trobrian di kawasan Lautan Pasific, dan seterusnya sampai sekarang metode fieldwork menjadi metode khas dalam studi-studi antropologi hukum. Tema-tema kajian yang dominan pada fase awal perkembangan antropologi hukum berkisar pada pertanyaan-pertanyaan : apakah hukum itu ? apakah ada hukum dalam masyarakat yang bersahaja, tradisional, dan kesukuan ?; bagaimanakah hukum berujud dan beroperasi dalam kehidupan masyarakat ? Pada dekade tahun 1940-an sampai 1950-an tema-tema kajian antropologi hukum mulai bergeser ke mekanisme-mekanisme
penyelesaian sengketa dalam masyarakat sederhana. Karya klasik dari Llewellyn dan Hoebel bertajuk The Cheyenne Way (1941) merupakan hasil studi lapangan kolaborasi dari seorang sarjana hukum dengan ahli antropologi dalam masyarakat sukuCheyenne (suku Indian) di Amerika Serikat. Kemudian, Hoebel mempublikasikan The Law of Primitive Man(1954), disusul dengan karya Gluckman mengenai Hukum orang Barotse dan Lozi di Afrika, karya Bohannan mengenai Hukum orang Tiv, karya Gulliver mengenai Hukum orang Arusha dan Ndendeuli. Karya Fallers mengenai Hukum dalam masyarakat suku Soga, dan karya Pospisil tentang Hukum orang Kapauku di Papua. Fase perkembangan tema studi antropologi hukum ke arah mekanisme-mekanisme peneyelesaian sengketa seperti disebutkan di atas disebut oleh F. von Benda-Beckmann (1989) sebagai fase the anthropology of dispute settlements. Pada dekade tahun 1960-an tema studi-studi antropologi lebih memberi perhatian pada fenomena kemajemukan hukum atau pluralisme hukum. Tema pluralisme hukum pertama-tama difokuskan pada kemajemukan cara-cara penyelesaian melalui mekanisme tradisional, tetapi kemudian diarahkan kepada mekanisme dan institusi penyelesaian sengketa menurut hukum pemerintah kolonial dan pemerintah negara-negara yang sudah merdeka. Karya Bohannan, Gluckman, dan Gulliver misalnya, tidak secara sistematis memberi perhatian pada eksistensi mekanisme dan institusi penyelesaian sengketa menurut hukum kolonial dan hukum negara-negara sedang berkembang Sejak tahun 1970-an tema studi-studi antropologi hukum secara sistematis difokuskan pada hubungan antar institusi-institusi penyelesaian sengketa secara tradisional, neo-tradisional, dan menurut institusi hukum negara. Karya Nader dan Todd (1978) misalnya, memfokuskan kajiannya pada proses, mekanisme, dan institusi-institusi penyelesaian sengketa di komunitas masyarakat tradisional dan modern di beberapa negara di dunia, melalui Berkeley Village Law Projects, menjadi karya yang memperlihatkan kecenderungan baru dari topik-topik studi antropologi hukum.

Publikasi lain yang perlu dicatat adalah mekanisme penyelesaian sengketa di kalangan orang Togo di Afrika karya van Rouveroy van Nieuwaal, kemudian karya F. von Benda-Beckmann (1979) dan K. von Benda-Beckmann (1984) yang memberi pemahaman tentang penyelesaian sengketa harta warisan di kalangan orang Minangkabau menurut pengadilan adat dan di pengadilan negeri di Sumatera Barat. Fase selanjutnya studi pluralisme mekanisme penyelesaian sengketa mulai ditinggalkan, dan mulai diarahkan kepada studi-studi pluralisme hukum di luar penyelesaian sengketa. Karya Sally F. Moore (1978) misalnya, mengenai kemajemukan hukum agraris dalam kehidupan suku Kilimanjaro di Afrika, dan mekanisme dalam proses produksi pabrik garment terkenal di Amerika dapat dicatat sebagai perkembangan baru studi pluralisme hukum. Kemudian, studi-studi pluralisme hukum mulai difokuskan pada mekanisme jaminan sosial (social security), pasar dan perdagangan, mekanisme irigasi pertanian, institusi koperasi dan perkreditan di daerah pedesaan di negara-negara sedang berkembang.
Studistudiinidikembangkanoleh AgrarianLaw Department Wageningen Agriculture University. Fase perkembangan tema pluralisme hukum yang menyoroti topik-topik penyelesaian sengketa maupun non penyelesaian sengketa, interaksi antara hukum negara, hukum rakyat, atau dengan hukum agama disebut oleh F. von Benda-Beckmann (1989) sebagai fasethe anthropology of legal pluralism. Kecenderungan yang berkembang sejak tahun 1970-an adalah penggunaan pendekatan sejarah dalam studi-studi antropologi hukum. Studi yang dilakukan Moore (1986), Snyder (1981), F. von Benda-Beckmann (1979), K. von Benda-Beckmann (1984) misalnya, secara eksplisit menggunakan kombinasi dimensi sejarah untuk menjelaskan interaksi institusi hukum negara (state law) dengan hukum rakyat (folk law) dalam kajian pluralisme hukum penyelesaian sengketa..
Di Indonesia, bila menengok kebelakang, kesejarah hukum atau lebih khusus sejarah studi hukum di Indonesia. Menurut Satjipto Raharjo, maka apa yang telah dilakukan Van Vollenhoven, pada prinsipnya adalah mempelajari hukum secara Antropologis juga. Salah satu karakteristik Antropologi hukum adalah penolakan pada kehadiran dari hukum dalam bentuk yang formal dan mutlak. Ia (Van Vollenhoven) juga telah menolak untuk melihat konseptualisasi hukum sebagaimana yang dibawa orang dari Eropa, dan mencoba untuk melihat hukum di Indonesia yang muncul dari masyarakat dan pergaulan Indonesia sendiri.
Dengan demikian, semestinya studi hukum secara antropologis di negeri ini adalah sama tuanya dengan saat Van Vollenhoven memaparkan pikirannya itu. Tetapu sangat disayangkan, bahwa dalam studi hukum di Indonesia, karya Van Vollenhoven lebih diterima secara normatif dogmatis. Peranan ilmuan tersebut sebagai seorang Antropolog hukum tidak diperkenankan.
Pada tahun 1940-an sampai 1950-an tema-tema kajian antropologi hukum mulai bergeser ke mekanisme-mekanisme penyelesaian sengketa dalam masyarakat yang diperoleh dari hasil studi lapangan, kolaborasi dari sarjana hukum dengan ahli antropologi.
Pada dekade tahun 1960-an tema studi-studi antropologi lebih memberi perhatian pada fenomena  kemajemukan hukum atau pluralisme hukum. Tema pluralisme pertama-tama difokuskan pada  kemajemukan cara-cara penyelesaian melalui mekanisme tradisional, tetapi kemudian diarahkan kepada mekanisme dan institusi penyelesaian sengketa menurut hukum pemerintah kolonial dan pemerintah negara-negara yang sudah merdeka.
Sejak tahun 1970-an tema studi-studi antropologi hukum secara sistematis difokuskan pada hubungan antar institusi-institusi penyelesaian swngketa secara tradisional, neo-tradisional, dan menurut institut hukum negara. Seperti karya F. Von Benda-Backmann (1979) dan K. Von Benda-Backmann (1984) yang memberi pemahaman tentang pilihan hukum dalam penyelesaian sengketa harta warisan dikalangan orang Minangkabau menurut mekanisme Pengadilan Adat dan Pengadilan Negeri di Sumatera Barat. 
Penelitian Atmadja (1993) menunjukan bahwa ternyata peranan desa adat Sangeh penting dalam menciptakan kaedah-kaedah (yang bersanksi) untuk menjaga kelestarian hutan Sangeh, sekaligus mensosialisasikan kaedah-kaedah itu dikalangan warga desa. Selain itu mereka juga melakukan kontrol sosial dan mengenakan sanksi bagi para pelanggar. Bahkan masyarakat desa adat tersebut mempertahankan berlakunya kaedah-kaedahnya hingga mereka berkonflik dengan pihak BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) setempat yang notabene adalah institusi formal yang secara resmi berhak mengelola hutan sangeh.
Menurut Atmadja, aturan-aturan adat yang dilandasi oleh religi Hindu ternyata efektif dilaksanakan dan berimplikasi bagi pengelolaan hutan wisata Sangeh. Hal yang menarik adalah bahwa pihak kepala daerah Bali justru berpihak pada teknik swakelola hutan wisata oleh masyarakat adat itu (Djaka Soehendra dalam Yanis Maladi: Antara Hukum Adat dan Penciptaan Hukum oleh Hakim (judge made law): 2009;27-28).
Pada tahun 2005 penelitian Yanis Maladi memberikan informasi tentang pandangan dan sikap warga masyarakat tentang hukum negara (state law) perihal pendaftaran tanah nasional, dimana sebagian besar warga masyarakat kabupaten Lombok Barat tidak melaksanakan pendaftaran tanahnya meskipun undang-undang (hukum negara) mewajibkan setiap bidang tanah didaftarkan untuk memperoleh ertifikan. Namun pada kenyataanya sebagian warga masyarakat setempat enggan atau tidak ingin mendaftarkan tanahnya dengan berbagai pertimbangan bahw hukum yang bersumber dari hukum lokal (Indigenous people law) dirasakan manfaat dan keampuhannya melindungi hak-hak mereka ketika dihadapkan dengan masalah sengketa yang diajukan ke Pengadilan (Yanis Maladi; Pendaftaran Tanah Nasional dan Kehidupan Hukum Masyarakat:2008). 
Dari berbagai gambaran dan informasi hasil-hasil penelitian terurai di ata menunjukkan bahwa ilmu antropolgi hukum telah memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu hukum di Indonesia. Dan untuk dimaklumi, sajian materi dalam buku Antropologi Hukum ini, bersumber dari racikan bacaan hasil penataran Antropologi Hukum dan Sosiologi Hukum bagi staf pengajar Fakultas Hukum seluruh Indonesia yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Inonesia (UI) sejak tahun 1994 dalam rangka penyiapan materi mata kuliah Antropologi Hukum yang pada saat itu merupakan mata ajar/mata kulaih baru di fakultas hukum. Sedangkan yang menjadi nara sumber kegiatan tersebut diatas antara  lain TO Ihromi, Stajipa Rahardja, Sulistyowati Irianto, Djaka Soehendra, I Nyoman Nurjaya, Yanis Maladi dan lain-lainya. Peneributan buku ini bertujuan memberikan pemahaman bagi para staf pengajar, mahasiswa S1 dan S2 dalam kajian-kajian Hukum perspektif Antropologi Hukum.
4.       Penggunaan Antropologi Hukum di Indonesia

Hukum dalam perspektif antropologis merupakan aktifitas kebudayaan yang berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial (social control), atau sebagai alat untuk menjaga keteraturan sosial (social order) dalam masyarakat (Black & Mileski, 1973:6; Black,1976:6, 1984:2). Karena itu, hukum dipelajari sebagai bagian yang integral dari kebudayaan secara keseluruhan, bukan sebagai suatu institusi otonom yang terpisah dari segi-segi kebudayaan yang lain (Pospisil, 1971:x). Jadi, untuk memahami tempat hukum dalam struktur masyarakat, maka harus dipahami terlebih dahulu kehidupan sosial dan budaya masyarakat tersebut secara keseluruhan. We must have a look at society and culture at large in order to find the place of law within the total structure. We must have some idea of how society works before we can have a full conception of what law is and how it works (Hoebel, 1954:5). Kenyatan ini memperlihatkan, bahwa hukum menjadi salah satu produk kebudayaan yang tak terpisahkan dengan segi-segi kebudayaan yang lain, seperti politik, ekonomi, struktur dan organisasi sosial, ideologi, religi, dll. Untuk memperlihatkan keterpautan hukum dengan aspek-aspek kebudayaan yang lain, maka menarik untuk mengungkapkan teori hukum sebagai suatu sistem (the legal system) yang diintroduksi Friedman (1975:14-5, 1984:5-7) seperti berikut :
1. Hukum sebagai suatu sistem pada pokoknya mempunyai 3 elemen, yaitu
(a) struktur sistem hukum (structure of legal system) yang terdiri dari lembaga pembuat undang-undang (legislatif), institusi pengadilan dengan strukturnya, lembaga kejaksaan dengan strukturnya, badan kepolisian negara, yang berfungsi sebagai aparat penegak hukum;
(b) substansi sistem hukum (substance of legal system) yang berupa norma-norma hukum, peraturan-peraturan hukum, termasuk pola-pola perilaku masyarakat yang berada di balik sistem hukum; dan
(c) budaya hukum masyarakat (legal culture) seperti nilai-nilai, ide-ide, harapan-harapan dan kepercayaan-kepercayaan yang terwujud dalam perilaku masyarakat dalam mempersepsikan hukum.
2. Setiap masyarakat memiliki struktur dan substansi hukum sendiri. Yang menentukan apakah substansi dan struktur hukum tersebut ditaati atau sebaliknya juga dilanggar adalah sikap dan perilaku sosial masyarakatnya, dan karena itu untuk memahami apakah hukum itu menjadi efektif atau tidak sangat tergantung pada kebiasaan-kebiasaan (customs), kultur (culture), tradisi-tradisi (traditions), dan norma-norma informal (informal norms) yang diciptakan dan dioperasionalkan dalam masyarakat yang bersangkutan. Dengan mengkaji komponen struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum sebagai suatu sistem hukum, maka dapat dicermati bagaimana suatu sistem hukum bekerja dalam masyarakat, atau bagaimana sistem-sistem hukum dalam konteks pluralisme hukum saling berinteraksi dalam suatu bidang kehidupan sosial (social field) tertentu. Kultur hukum menjadi bagian dari kekuatan sosial yang menentukan efektif atau tidaknya hukum dalam kehidupan masyarakat; kultur hukum menjadi motor penggerak dan memberi masukan-masukan kepada struktur dan substansi hukum dalam memperkuat sistemhukum. 
Kekuatan sosial secara terus menerus mempengaruhi kinerja sistem hukum, yang kadangkala dapat merusak, memperbaharui, memperkuat, atau memilih lebih menampilkan segi-segi tertentu, sehingga dengan mengkaji komponen substansi, struktur, dan budaya hukum berpengaruh terhadap kinerja penegakan hukum, maka dapat dipahami suatu situasi bagaimana hukum bekerja sebagai suatu sistem dalam kehidupan masyarakat (Friedman, 1984:12). Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa hukum pada dasarnya berbasis pada masyarakat. Karena itu, salah satu metode khas dalam antropologi hukum adalah kerja lapangan (fieldwork methodology) untuk memahami eksistensi dan bekerjanya hukum dalam situasi normal maupun suasana sengketa.
Ciri khas yang lain dari antropologi hukum adalah penggunaan pendekatan holistik (holistic approach) dengan selalu mengkaitkan fenomena hukum dengan aspek-aspek kebudayaan yang lain, seperti ekonomi, politik, organisasi sosial, religi, ideologi, dll. dalam investigasi dan analisis bekerjanya hukum dalam masyarakat. Selain itu, metode perbandingan hukum (comparative method) juga menjadi ciri khas antropologi hukum, dengan melakukan studi perbandingan antara sistem-sistem hukum dalam masyarakat yang berbeda-beda di berbagai belahan dunia. Dalam kaitan dengan yang disebut terakhir, hukum adat di Indonesia tidak sama dengan antropologi hukum, karena hukum adat hanya salah satu dari sistem hukum rakyat (folk law ataucustomary law) yang menarik untuk dikaji melalui studi antropologi hukum, seperti juga sistem-sistem hukum rakyat asli (indigenous law) yang dapat ditemukan di Malaysia, Philipina, Thailand, Nepal, India, Australia, Amerika Latin, Afrika, dll. dengan menggunakan metode studi perbandingan (comparative study). Jadi, hukum adat (adat law) adalah sistem hukum khas Indonesiayang dapat dijadikan obyek kajian untuk memahami sistem hukum hukum rakyat yang secara empiris hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat sebagai cerminan pluralisme hukum dalam masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia.
Karakter khas lain dari antropologi hukum adalah berbagai sistem hukum dalam masyarakat di berbagai belahan dunia dipelajari dengan memfokuskan pada proses-proses mikro (micro processes) yang secara empiris berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Karena itu, metode holistik dalam mengkaji kemajemukan hukum dalam masyarakat sangat membantu menjelaskan mekanisme, prosedur, dan institusi-institusi hukum dan bekerjanya hukum serta keterkaitannya dengan aspek politik, ekonomi, religi, organisasi sosial, ideologi, dll. Implikasi dari karakteristik metodologi antropologi hukum seperti disebutkan di atas adalah : jika studi-studi mengenai fenomena hukum dalam masyarakat dilakukan untuk memperoleh pemahaman secara utuh-menyeluruh dan holistik, maka studi antropologi hukum harus difokuskan paling tidak pada 4 (empat) aspek kajian pokok sekaligus (sebagai satu kesatuan), yaitu mulai dari kajian :
1. Proses Pembuatan Hukum (Law Making Process);
2. Norma Hukum/ Peraturan Perundang-undangan (Legal Norms);
3. Pelaksanaan Hukum (Law Implementation/Application); dan
4. Penegakan Hukum (Law Enforcement).
Kajian pada tingkatan proses pembuatan hukum akan memberi pemahaman bagaimana petarungan berbagai kepentingan ekonomi, politik, sosial, religi, termasuk ideologi partai dan tekanan dunia internasional (negara-negara/lembaga-lembaga internasional) mempengaruhi masa-masa perdebatan dan pengambilan keputusan untuk menyetujui (dari lembaga legislatif) dan mensahkan (dari lembaga ekskutif) suatu produk hukum negara (state law). Selain itu, akan diamati dan dicermati apakah proses pembuatan hukumnya sudah melalui mekanisme yang benar, seperti dimulai dengan membuat background paper, naskah akademik, baru kemudian menyusun rancangan undang-undangnya ?; apakah kemudian dalam proses tersebut dilakukan konsultasi publik (puclic consultation) oleh ekskutif dan dengar pendapat (hearing) sebagai cerminan dari prinsip transparansi dan partisipasi publik dengan melibatkan semua komponen stakeholders sebelum persetujuan oleh legislatif dan pensahan oleh eksekutif dilakukan ?. Dengan demikian, proses-proses tersebut dan pertarungan kepentingan yang mendominasi proses tersebut dapat diketahui secara eksplisit memberi warna dan nuansa, jiwa dan semangat dari produk hukum yang dihasilkan seperti tercermin pada asas dan norma-norma hukumnya.
Kajian pada tingkatan norma-norma hukumnya, produk peraturan perundang-undangan, akan memberi pemahaman mengenai jiwa dan semangat serta prinsip-prinsip yang dianut dari suatu produk hukum/peraturan perundang-undangan. Kaitan dengan studi antropologi hukum yang berfokus pada pluralisme hukum, akan dicermati apakah prinsip-prinsip penting, seperti : informed-consent principle, prinsip pengakuan dan perlindungan atas hak-hak masyarakat lokal (indigenous tenurial rights), dan prinsip pengakuan atas kamajemukan hukum (legal pluralism) sudah diatur secara eksplisit dalam norma-norma hukumnya.
Hal-hal krusial di atas akan dapat terjawab selain dengan mencermati dan mengkritisi norma-norma hukumnya, juga dengan meniti kembali proses pembuatannya ketika berlangsung di tingkat ekskutif dan legislatif. Kajian pada tingkatan implementasi hukum (law implementation) dan tingkatan penegakan hukum (law enforcement) dapat memberi pemahaman mengenai apakah di satu segi aparat pelaksana hukum dan penegak hukum secara konsisten dan konsekuen sudah melaksanakan norma-norma hukum sebagai bagian dari kewenangan, kewajiban, dan tugas-tugasnya; dan di segi lain apakah masyarakat secara konsisten mematuhi dan mentaati hukum yang mengatur perilaku mereka, sehingga dapat dicermati apakah hukum berlaku secara efektif atau mungkin berlangsung sebaliknya menjadi tidak efektif. Pada tingkatan ini akan dapat dipahami bagaimana aspek-aspek ekonomi, politik, sosial, religi, sosial, bahkan ideologi partai atau tekanan negara/lembaga internasional mempengaruhi kinerja pelaksanan hukum maupun penegakan hukum berlangsung dalam masyarakat. Selain itu, dapat dikritisi dengan pendekatan antropologi hukum apakah hukum negara cenderung mendominasi, menggusur, mengabaikan, atau memarjinalisasi eksistensi hak-hak masyarakat lokal dan sistem hukum rakyat (adat) dalam proses implementasi dan penegakan hukum negara melalui politik pengabaian kemajemukan hukum (the political of legal pluralism ignorance); atau mungkin berlangsung dan diberlakukan secara berdampingan (co-existance) dalam suasana yang harmoni ?.



Kamis, 01 Desember 2011

Foto Kenangan Masa lalu, dan takkan terlupakan , , , ,

 menggila bareng temen2 dilabor sekolah , , , , ,
hahahahaaaaaah
tak terlupakan lah ,, ,
 hati2 sob, nanti salah masukin  , , , , hahahha
PAra sahabat kuuuuuu
 para sahabat kuuuu
huhuhhhuuh, motor tercinta , , ,
kini sudah tiada , , , , ,
:'(
Salam Pramuka!!!!!
Nongkrong bareng habis pulng sekolah,,,,,,
 Me and my best friend
aaassssseeeeeekkkkkkk
 sahabat sahabat :'(
jalan2 bareng with my frienddddd
 temen2 sekelas XII Ipa 1
SMAN 1 Kateman
ngapaaeeeeennn thoooooo?
 ceeeeee'iiiileeeeeeee inilah aq, anak yang paling rajin dikelas, jiakakakakakkaka
 Pura2 belajar thooooo, hahahhaha
 Prikitieeeeeewwwwww, hahahha
 "ROVERING TO SUCCESS"
 para adik2 pramuka
 jiaaaaahhhhhh, malahn duduk2, ngajar sonooo , , , , hahahha
 TNI memberi materi PBB , , , , ,
 Sempat2nyeeeeeeee , , ,,
 kangen kumpul2 :'( , , ,,  , huhhuh
KK trissss Dll , , ,,
 nongkrong bareeeeng , , , ,
 gag ada beda rasannya ma foto yang diatassss, hahahha
 aq dan sahabat , , ,, ,  ,  , , , ,
 Mesra amat yheeeeee, , , , ,
hahahaha
 syukuran untuk kelulusan SMAN 1 kateman, , ,  sama teman2 dan kak triss , , ,
 Foto barenggggg , , , ,
 manntaaaaabbbbbb , , , , ,
 Perpisahan SMA, tetapi gag Perpisahan dengan teman2
 Sahabat baikku , , , , , ,
cowok2 ganteeengggg, hahahha
apa kage ini, ganteng abiiiissssss,,,,
 Sira dan kepsek , , , ,
 AQ dan Pak Kepsek , , , ,
with guru2 SMA , , ,
 apa lagi nheeeeee, , , , ,
mana bajunnya broooooo, hahahahahahh

MAKALAH HUKUM TATANEGARA


BAB I
PENDAHULUAN

A.        Latar Belakang

Sesuatu kenyataan hdup bahwa manusia itu tidak sendiri. Manusia hidup berdampingan , bahkan berkelompok kelompok dan sering mengadakn hubungan antar sesama. Hubungan ini terjadi karena adanya kebutuhan hidupnya yang tak mungkin dapat terpenuhi sendiri.kebutu.an hidup manusia bermacam macam.pemenuhan kebutuhan hidup tergantung dari hasil yang diperoleh melalui daya upaya yang dilakukan. Setiap waktu manusia ingin memenuhi kebutuhan dengan baik. Kalau dua orang ingin memenuhi kebutuhan hidup yang sama dengan hanya I objek kebutuhan, sedangkan keduanya tidak mau mengalah  bentrok dapat terjadi. Suatu bentrok akan juga terjadi juga daam suatu hubungan antar manusia satu dan manusia yang lain ada yang tidan memenuhi kewajiban.

oleh kerena itu untuk menciptakan keteraturan dalam suatu kelompok social, baik dalam situasi kebersamaan maupun dalm situasi social diperlukan ketentuan-ketentuan. Ketentuan itu untuk membatasi kebebasan tingkah laku itu. Ketentuan-ketentua yang dilakukan adalah ketentuan yang timbul dari dalam pergaulan hidup atas dasar kesadaran dan biasanya dinamakan hokum, jadi hokum adalah ketentuan-ketentuan hidup manusia yang timbul dari pergaulan hidup manusia. Hal ini berdasarka dari kesadaran hidup manusia itu sendiri, sebagai gejala-gejala social, gejala social itu merupakan hasil dari pengukuran baik dalam tingkah laku manusia dalam pergaulan hidupnya.

Jadi tentunya tidak berlebihan dalam mempelajari hokum Indonesia dan hukumannya denagn hokum sebagai ilmu, sebagai pengantar, sistematika uraian sebagai berikut. Pendahuluan ini menguraikan hokum pada umumnya, selanjutnya akan diuraikan hokum berupa arti hokum tata Negara yang berdiri dari pengrtian hokum tata Negara, sejarah hokum tata Negara dan politik hokum yang meliputi tinjauan pada zaman Indonesia dijajah dan Indonesia merdeka, dan juga akan dijelaskan sumber hokum dan sebagainya.
B.     Rumusan masalah

Masalah yang dibahas dalam Makalah ini adalah :

1.      Apa itu hokum tata Negara?
2.      Apa saja ruang lingkup Hukum tata Negara?:
3.      Bagaimana hubungan dengan hokum yang lain?
4.      Sumber hokum tata Negara?

C.     Tujuan makalah

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :

1.      Dapat mengetahui apa itu Hukum tatanegara
2.      Dapat mengetahui apa saja aspek yang dibahas dalam Hukum tata Negara
3.      Kita dapat mempelajari secara mendalam semua pembahasan Hukum tatanegara






























BAB II

PEMBAHASAN


HUKUM TATA NEGARA
1.      PENGERTIAN HUKUM TATA NEGARA

BEBERAPA orang sarjana mengemukakan pendapatnya yang satu dengan lainnya tidak sama tentang pengertian hukum, tata negara. Para sarjana itu, antara lain:
a.       Van der Pot yang berpendapat, bahwa hukum tata negara adalah peraturan-peraturan yang menentukan badan-badan yang. diperlukan, wewenang masing masing badan, hubungan antara badan yang satu dengan Iainnya, serta hubungan antara badan-badan itu dengan individu-individu di dalam suatu negara.
b.      Van Vollenhoven berpendapat, bahwa hukum. tata negara adalah hukum yang mengatur semua masyarakat hukum atasan dan masyarakat hukum bawahan menu- rut tingkatannya, dan masing-masing masyarakat hukum itu menentukan. wilayah lingkungan rakyatnya dan menentukan badan-badan serta fungsinya masing-masing yang berkuasa dalam masyarakat hukum itu, serta menentukan susunan dan wewenang dan badanbadan tersebut.
Baca selanjutnya 
c.       L.J. Van Apeldoorn berpendapat, bahwa hukum tata negara adalah hukum negara dalam arti sempit.
d.      Kusumadi Pudjosewojo yang berpendapat, bahwa htikum tata negara adalah hukum yang mengatur bentuk negara, bentuk pemerintahan, menunjukkan masyarakat hukum atasan dan masyarakat hukum bawahan menurut tingkatannya, selanjutnya menegaskan wilayah lingkungan rakyatnya masing-masing masyarakat hukum, menunjukkan alat-alat perlengkapan negara yang berkuasa dalam masing-masing masyarakat hukum itu dan susunan, wewenang serta imbangan dan alat perlengkapan tersebut.
e.       Logemann berpendapat, bahwa hukum tata negara adaIah hukum yang mengatur organisasi negara.

2.      SEJARAH KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA
2.1 Lahirnya Negara Republik Indonesia
Negara Republik Indonesia lahir pada tanggal 17 Agustus 1945, melalui pernyataan prokiamasi kemerdekaan Indonesia oleh Dung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia.
Dengan demikian, sejak saat itu (17-8-1945) telah lahir negara baru, yaitu negara Republik Indonesia dan bersamaan dengan itu berdiri pula tata hukum dan tata negara Indonesia sendiri.

2.2. Lahirnya Pemerintahan Indonesia
Pada tanggal 29 April 1945 pemerintah bala tentara Jepang di Jakarta membentuk suatu badan yang diberi nama Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai atau Badan Penyelidik Usah usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
Ir. So karno, Drs. Muhammad Hatta, Mr. A.A. Maramis, A Kusno Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakir, Haji Agus Sali Mr. Achmad Subardjo, KHA. Wahid Hasjim, dan Mr. Muhammad Yamin.anggal 22 Juni 1945 BPUPKI berha meryusun naskah rancàngan Pembukaan UUD 1945 da tanggai 16 Juli 1945 selesai menyusun naskah rancangan UUD 1945 Setelah itu BPUPKI dibubarkan. Tanggal 9 Agustus 1945 dibentuk badan baru dengan nama Dokurit Zyunbi Iinkai atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indon sia (PPKI)
PPKI menyaksikan pula pembacaan naskah proklamasi oleh Bung Karno pada tanggal. 17 Agustus 1945. Kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945 PPKI bersidang dan hasilnya menetapkan :

a)      Pembukaan UTD 1945.
b)      Undang-Undang Dasar 1945 sebagai UUD negara Republik Indonesia.
c)      Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta masing-masing sebagai Presiden dan Wakil Presiden      Republik Indonesia.
d)      Pekerjaan presiden untuk sementara dibantu oleh sebuah Komite Nasional.
Pada tanggal 19 Agustus 1945 PPKI bersidang lagi dan hasilnya menetapkan:
a)      Membentuk 12 Departemen Pemerintahan.
b)      Membagi wilayah Republik Indonesia menjadi 8 propinsi dan tiap propinsi dibagi menjadi karesidenan-karesidenan.
Dengan selesainya sidang PPKI tanggal 18 dan 19 Agustus 1945 dengan hasil seperti tersebut di atas, secara formal negara Republik Indonesia telah memenuhi semua unsur yang diperlukan untuk terbentuknya suatu organisasi negara yaitu adanya rakyat, wilayah, kedaulatan, dan pemerintahan, serta mempunyai tujuan negara.
2.3. Sistem Pemerintahan di Indonesia
Pengertian tentang sistem pemerintahan adalah sama dengan pengertian tentang bentuk pemerintahan. Pengertian tentang bentuk pemerintahan adalah suatu sistem yang berlaku, yang menentukan bagaimana hubungan antar alat perlengkapan negara yang diatur oleh konstitusinya
Ada tiga macam sistem pemerintahan:
1.      Sistem pemerintahan parlementer adalah suatu sistem pemerintahan di mana hubungan antara pemegang kekuasaan eksekutif dan parlemen sangat erat.
2.      Sistem pemerintahan presidensil ialah sistem pemerintahan yang memisahkan secara tegas badan legislatif, ba dan eksekutif, dan badan yudikatif.
3.      Sistem pemerintahan dengan pengawasan langsung oleh rakyat terhadap badan legislatif. Maksudnya, dalam sistem pemerintahan seperti ini parlemen tunduk kepada kontrol langsung dan rakyat. Kontrol tersebut dilaksanakan dengan cara :

a)      Referendum, Ada tiga macam referendum, yaitu:
1)      Referendum Obligator
2)      Referendum Fakultatif
3)      Referendum Konsultatif
b)      Usul inisiatif rakyat, yaitu hak rakyat untuk mengajukan suatu rancangan undang-undang kepada parlemen dan pemerintah.
Sistem pemerintahan menurut UUD yang pernah berlaku di Republik Indonesia:
a.       Menurut Konstitusi RIS.
b.      Menurut UUDS 1950.
c.       Menurul UUD 1945.

3.      RUANG LINGKUP KAJIAN HTN
Dalam kepustakaan Belanda perkataan Staatsrecht, dalam bahasa istilah inggeris dikenal dengan “constitusional law” bahasa prancis droit constitusionnel (hukum Tata Negara) mempunyai dua macam arti, Pertama sebagai staatsrechtswetenschap (Ilmu Hukum Tata Negara) kedua sebagai Positif staatsrecht (hukum tata Negara posistif).
Sebagai ilmu HTN ; HTN mempunyai obyek penyelidikan dan mempunyai metode penyelidikan, sebagaimana dikatakan Burkens; bahwa obyek penyelidikan Ilmu HTN adalah system pengambilan keputusan dalam Negara sebagaimana distrukturkan dalam hukum (tata) positif. Seperti UUD (konstitusi), UU, peraturan tata tertib berbagai lembaga-lembaga negara.
Kedua, positif staatsrecht (hukum tata Negara positif) yaitu ada berbagai sumber hukum yang dapat kita kaji, HTN positi mempunyai beberapa sumber hukum ; 1) hk. Tertulis, 2) Hk. Tak tertulis, 3) yurispridensi 4) Pendapat Pakar Hukum
Sedangkan Hukum tata negara adalah sekumpulan peraturan hukum yang mengatur dari pada Negara.
Menurut A.M. Donner (guru besar belanda; bahwa obyek penyelidikan ilmu HTN yaitu penerobosan Negara dengan HUkum “ de doordringing van de staat met het recht” artinya Negara sebagai organisasi kekuasaan/jabatan/rakyat) diterobos oleh aneka ragam Hukum.
Objek Kajiannya adalah:
1.      Konstitusi sebagai hokum dasar beserta berbagai aspek mengenai erkembangannya dalam sejarah kenedaraan yang bersangkutan, proses pembentukannya dan perubahanyan, kekuatan mengikatnya dalam peraturan perundang undangan, cakupan substansinya, ataupun muatan isinya sebagai hokum dasar yang tertulis
2.      Pola pola dasar ketatanegaraan yang dianut dan dijadikan acuan bagi perorganisasian institusi, pembentukan dan penyelenggaraan organisasi Negara, serta mekanisme kerja organisasi oeganisasi Negara dalam menjalankan fungsi fungsi pemerintahan dan pembangunan.
3.      Struktur kelembagaan  Negara dan mekenisme hubungan antar organ organ kelembagaan Negara, baik secara vertical maupun secara horizontal.
4.      Prinsip prinsip kewarga negaraan dab hubungan antara Negara dengan warga Negara beserta hak hak dan kewajiban asasi  manusia, bentuk bentuk prosedur penganbilan putusan hakim, serta mekanisme melawan putusan hakim.
Sedangkan ilmu HTN dalam arti sempit menyelidiki :
1. jabatan apa yang terdapat dalam suatu Negara
2. siapa yang mengadakan
3. bagaimana cara melengkapi mereka dengan pejabat-pejabat
4. apa yang menjadi tugasnya
5. apa yang menjadi wewenangnya
6. perhubungan kekuasaan satu sama lain
7. di dalam batas-batas apa organisasi Negara. Dan bagaimana menjalankan tugasnya.
Dalam membagi HTN dalam arti luas itu dibagi atas dua golongan hukum, yaitu :
1. Hukum tata Negara dalam arti sempit
2. hukum tata usaha Negara administrative recht)
menurut Van Volenhoven membagi HTN atas golongan
1. hukum pemerintahan (berstuurecht)
2. hukum peradilan (justitierecht ) :peradilan ketatanegaraan , peradilan perdata. ,Peradilan tata usaha, peradilan pidana
3. Hukum kepolisian (politierecht)
4. hukum perundang-undangan (regelaarecht)
4.      HTN HUBUNGANNYA DENGAN ILMU LAINNYA
ilmu Negara
“ilmu negara” diambil dari istilah bahasa Belanda Staatler yang berasal dari istilah bahasa Jerman Staatslehre dalam bahasa inggeris disebut teory of state dalam bahasa Perancis Theorie d’etat. Ilmu Negara adalah menyelidiki asas –asas pokok dan pengertian-pengertian pokok tentang Negara dan hukum tata Negara. George Jellinek dikenal sebagai Bapak Ilmu Negara. Membagi ilmu kenegaraan menjadi dua bagian, yaitu : a) ilmu Negara dalam arti sempit staatswissenschaften b) ilmu pengetahuan hukum rechtwissenschaften
ilmu pengetahuan hukum rechtwissenschaften menurut Jellinek adalah Hukum public yang menyangkut soal kenegaraan, misalnya Hukum tata Negara, hukum administrasi Negara, hukum pidana, dan sebagainya.
Ilmu Politik
Menurut Hoetink bahwa ilmu politik adalah semacam sosiologi Negara. Ilmu Negara dan hukum tata Negara meyelidiki kerangka yuridis dari Negara, sedangkan ilmu politik menyelidiki bagiannya yang ada di sekitar kerangka itu. Maka kedua-duanya menggambarkan bahwa masing-masing menyelidiki obyek yang sama yaitu Negara, perbedaan hanya pada metode yang digunakan. Dimana ilmu Negara metosenya adalah yuridis sedangkan ilmu politik adalah sosiologis
Sedangkan menurut Barents menggambarkan bahwa hukum tata Negara adalah kerangkanya sedangkan ilmu politik merupakan daging yang disekitarnya. Perbedaannya adalah Ilmu Negara menitip beratkan pada sifat-sifat teoritis tentang asas pokok dan pengertian-pengertian pokok tentang Negara, makanya ilmu Negara kurang dinamis. Sementara ilmu politik lebih menitip beratkan pada kejalah-gejalah kekuasaan, baik mengenai organisasi Negara maupun yang mempengaruhi pelaksanaan tugas-tugas Negara, oleh karena itu ilmu politik dinamis dan hidup.
5.      SUMBER HUKUM TATA NEGARA
Pengertian Sumber Hukum
Sumber hukum bermacam-macam pengetian adalah tergantung pada sudat mana kita melihanya. Namun demikian sebagai gambaran berikut dua pakar hukum dibawah ini sebagai gambaran tentang sumber hukum
Pengertian Sumber Hukum Menurut Sudikno Mertokusumo, yaitu :
a. sebagai asas hukum sebagai suatu yang merupakan permulaan hukum, misalnya kehendak Tuhan, akal manusia, jiwa bangs, dans ebagainya.
b. Menunjukkan hukum terdahulu yang memberi bahan-bahan pada hukum yang sekarang berlaku, seperti hukum prancis, hukum romawi dan lain-lain
c. Sebagai sumber berlakunya, yang memberi kekuatan berlaku secara formal kepada peraturan hukum (penguasa atau masyarakat)
d. Sebagai sumber hukum dimana kita dapat mengenal hukum seperti; dokumen, undang-undang, lontar, batu tertulis, dan sebagainya.
e. Sebagai sumber terjadinya hukum atau sumber yang menimbulkan hukum.
Sedangkan menurut Joeniarto bahwa sumber hukum dapat dibedakan menjadi :
• sumber hukum dalam artian sebagai asal hukum positif, wujudnya dalam bentuk yang konkrit berupa keputusan dari yang berwewenang
• sumber hukum dalam artian sebagai tempat ditemukannya aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan hukum positif. Entah tertulis atau tak tertulis.
• sumber hukum yang dihubungkan dengan filsafat, sejarah, dan masyarakat. Kita dapatkan sumber hukum filosofis histories dan sosiologis.

Macam-macam sumber hukum
sumber hukum formal diartikan sebagai tempat atau sumber dari mana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Atau menurut Utrecht sumber hukum formil adalah sumber hukum yang dikenal dari bentuknya.
Sedangkan hukum materiil adalah sumber hukum yang mentukan isi hukum.Dengan demikian bahwa sumber hukum formal ini sebagai bentuk pernyataan berlakuknya hukum materiil
sumber hukum Tata Negara
bahwasanya sumber hukum tata Negara tidak terlepas dari pada sumber hukum formil dan materil
pertama, sumber hukum materil tata Negara adalah sumber hukum yang menentukan isi kaidah hukum tata Negara, yaitu:
• dasar dan pandangan hidup bernegara sepeti pancasila
• kekuatan politik yang berpengaruh pada saat merumuskan kaidah hukum tata Negara. Sepeti halnya denga kekuatan dalam proses perumusan dan perancangan perundang-undangan yang tidak lepas dari pada kepentingan kelompok partai dalam merumuskan hukum.
Kedua, sedangkan sumber hukum dalam arti formal, yaitu
a. hukum perundang-undangan ketatanegaraan adalah hukum tertulis yang dibentuk dengan cara-cara tertentu oleh pejabat yang berwewenang dan dituangkan dalam bentuk tertulis
b. hukum adat ketatanegaraan merupakan hukum asli bangsa Indonesia yang tertulis, namun tumbuh dan dipertahankan oleh masyarakat hukum adat.
c. hukum adat kebiasaan atau konvensi ketatanegaraan adalah hukum yang tumbuh dalam praktik penyelenggaraan Negara untuk melengkapi, menyempurnakan, dan menghidupkan (mendinamisasi) kaidah-kaidah hukum perundang-undangan atau hukum adat ketatanegaraan.
d. yurisprudensi ketatanegaraan adalah kumpulan putusan-putusan pengadilan.
e. Trakta atau hukum perjanjian internasional ketatanegaraan adalah persetujuan yang diadakan Indonesia dengan Negara-negara lain,
f. doktrin ketatanegaraan ajaran-ajaran tentang hukum tatanegara yang ditemukan dan dikembangkan di dalam dunia ilmu pengetahuan sebagai hasil penyelidikan dan pemikiran saksama berdasarkan logika formal yang berlaku.
6.      HIRARKHI PERUNDANG UNDANGAN
Pasal 7 (1) UU No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan bahwa;
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
Yang dimaksudkan dengan peraturan daerah (perda) meliputi ;
a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur;
b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
Hirarki perundang undangan menurut TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan
1)      tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia adalah:
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia, memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara.
2)      Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia merupakan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pengemban kedaulatan rakyat yang ditetapkan dalam sidang-sidang MPR.
3)      Undang-Undang (UU) dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Presiden untuk melaksanakan UUD 1945 serta TAP MPR-RI
4)      Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Perpu dibuat oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, dengan ketentuan sebagai berikut: a). Perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut. B). DPR dapat menerima atau menolak Perpu dengan tidak mengadakan perubahan. C). Jika ditolak DPR, Perpu tersebut harus dicabut.
5)      Peraturan Pemerintah dibuat oleh Pemerintah untuk melaksanakan perintah undang-undang
6)      Keputusan Presiden(Keppres) Keputusan Presiden yang bersifat mengatur dibuat oleh Presiden untuk menjalankan fungsi dan tugasnya berupa pengaturan pelaksanaan administrasi negara dan administrasi pemerintahan
7)      Peraturan Daerah Peraturan daerah propinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) propinsi bersama dengan gubernur. .
a.       Peraturan daerah propinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) propinsi bersama dengan gubernur.atau DPRD kabupaten/kota bersama Bupati/walikota
b.      Peraturan daerah kabupaten / kota dibuat oleh DPRD kabupaten / kota bersama bupati / walikota.

c.       Peraturan desa atau yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau yang setingkat, sedangkan tata cara pembuatan peraturan desa atau yang setingkat diatur oleh peraturan daerah kabupaten / kota yang bersangkutan.
 Tata cara pembuatan UU, PP, Perda serta pengaturan ruang lingkup Keppres diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Namun hingga sekarang ini belum ada UU yang mengatur apa saja yang menjadi lingkup pengaturan dari Keppres dan PP
7.      PENGERTIAN ASAS HTN
Obyek asas HTN sebagaimna obyek yang dipelajari dalam HTN, sebagai tambahan menurut Boedisoesetyo bahwa mempelajari asas HTN sesuatu Negara tidak luput dari penyelidikan tentang hukum positifnya yaitu UUD karena dari situlah kemudian ditentunkan tipe Negara dan asaa kenegaraan bersangkutan.
Sebagaimana asas-asas HTN yaitu :
ü  asas pancasila bahwasanya setiap Negara didirikan atas falsafah tertentu.
ü  asas Negara hukum (rechtsstaat) cirinya yaitu pertama, adanya UUD atau konstitusi yang memuat tentang hubungan antara penguasa dan rakyat kedua, adanya pembagian kekuasaan, diakui dan dilindungi adanya hak-hak kebebasan rakyat.
ü  Salah satu yang terpenting dalam Negara hukum adalah asas legalitas, dimana asas legalitas tidak dikehendaki pejabat melakukan tindakan tanpa berdasarkan undang-undang yang berlaku. Atau dengan kata lain the rule of law not of man dengan dasar hukum demikian maka harus ada jaminan bahwa hukum itu sendiri dibangun berdasarkan prinsip2 demokrasi.
ü  asas kedaulatan dan demokrasi menurut jimly Asshiddiqie gagasan kedaulatan rakyat dalam Negara Indonesia, mencari keseimbangan individualisme dan kolektivitas dalam kebijakan demokrasi politik dan ekonomi.
ü   asas Negara kesatuan pada prinsipnya tanggung jawab tugas-tugas pemerintahan pada dasarnya tetap berada di tangan pemerintah pusat. Akan tetapi, system pemerintahan diindonesia yang salah satunya menganut asas Negara kesatuan yang di desentralisasikan menyebabkan adanya tugas-tugas tertentu yang diurus sendiri sehingga menimbulkan hubungan timbal balik yang melahirkan hubungan kewenangan dan pengawasan.
ü   asas pemisahan kekuasaan dan chek and balance (perimbangan kekuasaan)
8.      LEMBAGA –LEMBAGA NEGARA MENURUT UUD 1945

perkembangan ketata Negaraan Indonesia
sebelum perubahan UUD 1945, RI menganut prinsip supremasi MPR sebagai salah satu bentuk varian system supremasi MPR parlemen yangdikenal didunia. Maka paham kedaulatan rakyat diorganisasikan melalui pelembagaan MPR sebagai lembaga penjelmaan rakyat Indonesia yang berdaulat yang disalurkan melalui prosedur perwakilan politik (political representation) melalui DPR, perwakilan daerah (regional representation) melalui utusan daerah, dan perwakilan fungsional (fungcional representation) melalui utusan golongan. Ketiga-tiganya dimaksudkan untuk menjamin agar kepentingan seluruh rakyat yang berdaulat benar-benar tercermin dalam keanggotaan MPR, sehingga menjadi lembaga tertinggi yang say sebagai penjelmaan rakyat. Sebagaimana dalam pasal I ayat (2) UUD 1945 “kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”
setelah amandemen ketiga UUD 1945 sebagaimana pasal 1 ayat (2) bahwa “kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan undang undang dasar. dengan demikian dengan berdasar pada UUD 1945 pasca amandemen ke-empat tersebut, maka terdapat delapan buah organ Negara yang mempunyai kedudukan sederajat yang langsung menerima kewenangan konstitusi dari UUD, kedelapan organ tersebut adalah;
1. DPRD (dewan perwakilan rakyat daerah)
2. DPD (dewan perwakilan darah)
3. MPR (majelis permusyawaratan rakyat.)
4. BPK (badan pemeriksa keuangan)
5. presiden dan wakil presiden
6. mahkamah agung
7. mahkama konstitusi
8. komisi yudicial
Juga terdapat lembaga atau institusi yang juga diatur kewenangannya dalam UUD, yaitu
1.      TNI
2.      kepolisian Negara RI
3.      pemerintah daerah
4.      Partai politik
Adapun lembaga yang tidak disebut namanya namun disebut fungsinya, namun kewenangannya dinyatakan akan diatur dalam UU yaitu BANK indonesai (BI) dan komisi pemilihan umum yang juga bukan nama karena ditulis dalam huruf kecil. Sedangkan lembaga yang berdasarkan perintah menurut UUD yang kewenangannya diatur dalam UU seperti; KOMNAS HAM, KPI, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan lain sebagainya.
lembaga-lembaga Negara Indonesia
struktur lembaga negara sebagaimana gambar berikut, dibawah ini :
• Lembaga independent
dalam menjamin kepentingan kekuasaan dan demokratisasi yang lebih efektif maka dibentuk beberapa lembaga-lembaga independent, seperti
1.      Tentara Nasional Indonesia (TNI)
2.      Kepolisian Negara (polri)
3.      Bank Indonesia
4.      kejaksaan agung
5.      KOMNAS HAM
6.      KPU
7.      Komisi Ombusdman
8.      Komisi Pengawasan dan persaingan Usaha (KPPU)
9.      Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggaraan Negara (KPKPN)
10.  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPU)
11.  Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan lain sebagainya
9.      GOOD GOVERNANCE
Good governance diartikans sebagai tindakan atau tingkah laku yang didasarkan pada nilai-nilai yangbersifat mengarahkan, mengendalikan dan memperngaruhi masalah public untuk mewujudkan nilai-nilai dalam tindakan dan kehidupan sehari-hari .
Good govermant adalah suatu kesepakatan menyangkut pengaturan negara yang diciptakan bersama pemerintah, swasta, dan masyarakat.
Indicator pemerintah yang baik adalah jika produktif dan memperlihatkan hasil dengan indicator kemampuan ekonomi rakyat meningkat baik dalam aspek produktifitas maupun dalam daya belinya, kesejahteraan spiritualnya terus meningkat, dengan indicator rasa aman, tenang dab bahagia serta sense of nationality yang baik.
Prinsip-prinsip good governance, yaitu
1. Partisipasi (participation) bahwa msyarakat berhak dalam pengambilan keputusan baik langsung maupun melalui lembaga perwakilan yang sah untuk mewakili kepentingan mereka.

2. penegakan hukum sebagaimana karakter penagakan hukum yaitu,
a)      supremasi hukum the supremacy of law,
b)      keputusan hakim legal certaintly.
c)      hukum yang responsive.
d)     penegakan hukum yang konsisten dan non diskriminatif.
e)      independensi peradilan.

3. Transparansi (transparency) menurut Gaffar bahwa delapan aspek penyelenggaraan negara yang harus ditransparansikan, yaitu ;
a)      penetapan posisi, jabatan atau kedudukan.
b)      kekayaan pejabat public.
c)      pemberian pengharhgaan.
d)     penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan.
e)      kesehatan.
f)       moralitas para pejabat dan aparatur pelayanan public.
g)      keamanan dan ketertiban.
h)      kebijakan strategis untuk pencerahan kehidupan masyarakat.

4. responsive (responsiveness) yakni pemerintah harus pekah dan cepat tanggap terhadap persoalan-persoalan masyarakat.

5. Konsensus (consensus orientation) yakni pengambilan keputusan secara musyawarah dans emaksimal mungkin berdasarkan kesepakatan bersama.

6. kesetaraan dan keadilan (equity) yaitu kesetaraan dan keadilan baik suku, agama, ras, etnik, budaya, geopolitik, dan lain sebagainya.

7. efektifitas (effectiveness) dan efesiensi (efficiency) atau tepat guna dan tepat waktu

8. akuntabilitas (accountability) artinya pertanggung jawaban pejabat public terhadap masyarakat yang memberikan delegasi atau kewenangan dalam berbagai urusan untuk kepentinganmereka.

9. visi strategis (strategic vision) adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi masa akan datang
langkah-langkah perwujudan Good Governance
a. penguatan fungsi dan peran lembaga perwakilan
b. kemandirian lembaga peradilan
c. aparat pemerintah yang professional dan penuh integritas
d. masyarakat madani yang kuat dan partisipatif
e. penguatan upaya otonomi daerah.
good governance merupakan factor kunci dalam otonomi daerah karena penyelenggaraan otonomi daerah pada dasarnya betul-betul akan terealisasi dengan baik apabila dilaksanakan dengan menggunakan prinsip-prinsip good governance.






















BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A.       Kesimpulan
Suatu system hokum pada hakikatnya merupakan kesatuan ataupun himpunan dari berbagai cita-cita dan cara-cara manusia berusaha untuk mengatasi masalahmaupun potensi yang timbul dari pergaulan hidup sehari hari yang menyangkut kedamian. Dari makalah ini dapat disimpulkan bahwa hokum tata Negara adalah hukum yang mengatur bentuk negara, bentuk pemerintahan, menunjukkan masyarakat hukum atasan dan masyarakat hukum bawahan menurut tingkatannya, selanjutnya menegaskan wilayah lingkungan rakyatnya masing-masing masyarakat hukum, menunjukkan alat-alat perlengkapan negara yang berkuasa dalam masing-masing masyarakat hukum itu dan susunan, wewenang serta imbangan dan alat perlengkapan tersebut.

B.        Saran
Kita sebagai rakyat sekaligus Mahasiswa sebenarnya sangat penting bagi kita semua untuk mempelajari hokum tata Negara selain ini adalah salah satu mata kuliah yang penting, juga ini merupakan ilmu yang sangat berguna untuk kita semua mengetahui apa itu Tata Negara secara umum dan Hukum Tatanegara secara khusus.  















DAFTAR PUSTAKA

Djamali, R Abdoel. Pengantar Hukum Indonesia. Cetakan XVI. Jakarta: Rajawali pers, 2010.